7/28/2017

PENDIDIKAN GUNAKARYA - Sudjoko, FSRD ITB

Gagasan pendidikan berikut mencoba merancang jawaban terhadap masalah:
  • tenaga di Indonesia
  • butakarya para lepasan setum (sekolah menengah umum)
  • perguruan tinggi yang ternyata menjadi rumah sakit (bukan rumah sembuh) kaum butakarya
  • rendahnya nilai kerja dalam budaya setum
  • terbelenggunya pendidikan kita langgam Eropa
  • terpakunya 'pendidikan keterampilan kerajinan / seni rupa' pada langgam Barat
  •  penyakit 'bimbingan tes' yang diganti dengan penyakit 'pendalaman materi'
  • rasa terbuang dan terlantar pada para korban saringan perti yang disebut 'praseleksi'
Masalah2 ini tidak akan dibahas di sini; yang pokok adalah ramuan obat sakit butakarya

MENGATASI CITRA SEKOLAH

gara2 'sekolah' 
UUD '45 tidak menyebut kata 'sekolah' atau 'persekolahan'. Jarang ini disadari kalangan didik.
Perlu kita camkan bahwa 'pendidikan' bukan persekolahan; 'lembaga' itu bukan sekolah; begitu pula 'institut'. Jadi kalau alam pikiran dan sepak terjang kita terpaku pada 'sekolah' menurut arti yang paling mapan, kita mudah keliru, atau sesat.


"urung dadi wong"

Di lembaga yang disebut 'sekolah' orang mendapat pendidikan terpadu berjenjang selama beberapa puluh tahun. Murid yang tidak mampu menempuh seluruh tata jenjang ini disebut "gagal", "jebol", "pedot", "drop out"[1] Yang disebut 'lulus' dan 'berhasil' hanyalah yang mampu merampungkan seluruh sistem.

Kurang disadari bahwa sistem yang disebut "wajar" atau "baik" ini bisa juga "kaku". Namun budaya gagal-berhasil yang ditanam 'sekolah' dalam sanubari bangsa kita ternyata tidak dipertanyakan lagi baik buruknya atu benar-kelirunya. Karena 'budaya sekolah' ini, murid yang tidak tamat dianggap "belum jadi orang" atau "gagal jadi orang". Dia maupun ortunya malu sebab ijazah sekolah tidak diraih.

Akibat lain dari keterbelakangan pada 'sekolah' ia berbagai keyakinan, kepercayaan atau dongeng sebagai berikut ini:

dongeng kita

- yang sekolah itu pintar
- yang tidak sekolah itu bodoh
- kalau mau pintar, masuklah sekolah
- yang tidak sekolah itu tidak berpendidikan
- supaya maju, seluruh rakyat harus bersekolah
- yang namanya 'pelajar' hanyalah yang bersekolah, dan yang 'terpelajar' hanyalah yang pernah bersekolah
- betul2 "malu2in bangsa" melihat banyak anak tidak sekolah, dan
- bekerja mencari nafkah
- sekolah ialah pusat kebudayaan
dll.
Semua itu dapat dikupas benar-bohongnya, seandainya ada yang tertarik untuk mengupasnya. Kalau tertarik, jawablah dahulu, misalnya:
  • bodoh/tak tahu/ tak pandai itu bodoh/ tak tahu/ tak pandai apa?
  • tahu/ mampu/ pandai itu tahu/ mampu/ pandai apa?
Setelah itu dijawab, lantas jawablah: apakah sebabnya/ syaratnya semua tadi 'sekolah' atau 'tamat sekolah'? Apakah bukti-buktinya memang begitu?

Muluk, tapi lumpuh

Akibat kepercayaan mutlak, blind belief, kepada sekolah ini maka harapan2 lain sering tinggal di buah bibir belaka. Msalnya 
~"Pendidikan seumur hidup"  
~ "Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri"
~"Pendidikan adalah proses untuk mempersiapkan hidup
(semua ini adalah ucapan pakar yang terbaca di koran)
Muluk. Nyatanya, kita kurang tahu bagaimana kita menerapkannya dalam wadah yang disebut 'sekolah'. Buktinya, banjir anak 'pintar' yang pedot, nganggur, bingung, lontang-lantung, malah jadi penjahat.

Apa itu mendidik?

Menilik makna aslinya, mendidik itu
- memberi pelajaran                      - memberi nasehat
-        "       bimbingan                   - memberi contoh
Misalnya, "Ibu mendidik anaknya." Maksudnya apa?

"Dijamin dalam sebulan sudah mampu, atau uang kembali"

> 'Sekolah' bukan syarat mutlak 
> masa didik tidak harus sekian tahun, tidak harus tiap hari kerja, dan tidak harus lima-enam jam sehari
> tidak harus dipakai tata jenjang
>   "         "         "       kurikulum
>   "         "     untuk yang melek huruf saja
>   "         "     ada pengajar berijazah guru
    Dan itu tidak berlaku untuk kaum belia saja.
 

'Pendidikan Keterampilan Kerajinan / Seni Rupa' 

?

Terus terang, saya sendiri bingung menghadapi sebutan resmi 'keterampilan kerajinan / seni rupa', sebab tidak tahu harus bagaimana memahaminya.

'Kerajinan' itu lawan 'kemalasan'. Cuma itu.

  1. 'Keterampilan Kerajinan'? Tidak jelas maksudnya.
  2. Istilah kerajinan seharusnya dibuang saja dari dunia pendidikan (kalau sebagai kata saja tak apa). Tafsirnya terlalu sembarangan: main2, coba2, dan ber-sibuk2 sering dibenarkan sebagai 'kerajinan' bahkan juga 'keterampilan'.

Belajar dan bekerja untuk mendapat nafkah. Bukan supaya terpelajar.

'Kerajinan' itu tampaknya salinan dari 'nijverheid'. Mungkin disangka kalau 'nijverheid' itu sama dengan 'ijver' (= kerajinan). Sebenarnya 
nijverheid itu arbeidzaamheid; arbeid itu kerja untuk menghasilkan sesuatu bagi keperluan hidup nyata; arbeider itu pekerja, buruh, tukang, juru, karyawan. Jadi  arbeidzaamheid itu kerajinan dan ketekunan dalam arbeid.
nijverheid itu industrie, het febriekswezen, (per)kilang(an), (per)kria(an).
nijverheidsonderwijs itu pendidikan "ter opleiding voor ambachten, industrie, scheepvaart, huishoding etc." (kamus Koenen, Endepols).
Jadi tujuannya kerumahtanggaan, pertukangan, pakardi, kria, industri, perkapalan, dll.
  nijverheidsschool itu "vackschool voor de nijverheid"; vackschool itu sekolah kejujuran

Inilah 'kerajinan'!

Jadi 'kerajinan' itu mestinya berarti 'kejujuran', 'kepandaian', 'keahlian'. Di masyarakat memang begitu. Sayang, di sekolah artinya lain: di sini 'kerajinan' dan 'kesenian' suka sengaja menjauhi, bahkan mengingkari kerja, kejuruan, perusahaan, dan nafkah. Biangnya ada: teori manampun filsafat pendidikan Barat (tentang "dunia anak", tentang "kemurnian anak", tentang "anak jangan belajar cari uang" dll. Uuhh!...)
Nama 'keterampilan kerajinan' itu sebaiknya diganti GUNAKARYA sajalah. Yang lazim ialah istilah2 seperti kriya (atau kria), kejuruan, keahlian, kepandaian, ketukangan, keutasan, kekipuan, (per)usaha(an) dsb.
         Sayang, gengsi sebut2an ini suka diragukan meskipun 'juru' terbang, 'juru' bicara, dan 'juru' runding (diplomat) itu bergengsi, malah bisa berkedudukan tinggi sekali (mis. Dr. Henry Kissinger). Bagaimanapun juga, istilah2 lumrah tadi sebenarnya tidak berisi semangat coba2, main2, sibuk2an, bebas2an, sekedar "berkenalan", sekedar mengalami 'proses' tanpa memperdulikan hasil, dll.
Bagi umum syaratnya jelas:
  • trampil / pandai dalam suatu pekerjaan
  • menghasilkan sesuatu yang jelas gunanya dan artinya.
Mengapa sih kok perlu2nya memakai istilah baru saja seperti GUNAKARYA?

Silakan rumuskan saja

Sebab masyarakat masih belum tau harkatnya, belum tahu apakah ini punya gengsi atau tidak. Dalam segala kamus pun ini tidak terbaca, meskipun maknanya bukan teka-teki. Maknanya belum terbentuk, belum terisi dengan contoh2. Lain halnya dengan 'kerajinan', 'pertukangan' dsb yang selalu membayangkan orang dusun, orang miskin, jelata bodoh (tentu menurut pandangan gedongan kota!). Jadi apakah gunakarya itu? Silakan IKIP / FKIP dan para guru merumuskannya.

Istilah 'SENI RUPA' sudah terlanjur dihinggapi aneka penyakit yang sulit diobati. Sulit, karena justru tidak dirasakan sebagai penyakit. Istilah 'seni rupa' ternyata menjauhkan narasekolah dari dunia kerja nyata, dan membawa orang ke dunia main2, coba2, ber-aneh2, sibuk2an, sering tanpa tujuan nyata, tanpa guna, mohguna, tanpa hasil, anti-hasil, tetapi semua atas nama yang serba muluk seperti 'kreasi', 'kreativitas', 'imajinasi', 'ekspresi', 'intuisi', 'spontanitas', 'kebebasan' dll. Sikap anti-sosial, keakuan dan keangkuhan juga ditumbuhkan atas nama 'seni rupa' seperti ini. Nyatanya 'kreativitas' itu entah ke mana bila si lulusan menganggur.

Ditujukan ke mana? Ke apa?

Intuisi, imajinasi, dan ekspresi suka dijadikan tujuan pokok dengan kedauluatan penuh. Sebaiknya ini dipandang dengan sebagai bagian dari tujuan saja, bagian dari karya sebagai (per)buatan atau rampungan (= apa2 yang sudah rampung). Dapatkah ketiga daya itu dipisahkan dari tujuan dan hasil? Dapat, sepanjang itu diperlakukan sebagai persiapan untuk mebuahkan karya rampung. Jadi pemisahan itu, seandainya dianggap perlu, cukup bersifat sementara saja.

Pendidikan pro-kerja

Pendidikan Gunakarya tidak berhenti pada mengenal atau menjajal, tetapi pada menampilkan bukti rampung yang bernama karya. Karya itu sendiri harus ditempatkan dalam rangka keperluan perjuangan hidup. Per-tama2 kebutuhan hidup naradidik, dan terutama kebutuhan hidup segera setelah lepas sekolah. Misalnya nafkah. GUNAKARYA itu kegiatan berkarya yang bisa menghidupi, atau menjamin kebutuhan hidup.

Untuk keperluan pendidikan sekolah, 'seni rupa' atau 'rinupa' hendaknya diartikan juga sebagai 'gunakarya'. Nyatanya, dalam peri hidup manusia memang begitu.
Kelak bila masalah kemiskinan, pengangguran, dan kenarakerjaan sudah kita atasi, maka 'seni rupa' bisa saja kita geser.

Oo. Jadi anak2 mau dididik jadi seniman?

Untuk menghadapi simpang-siur, dunia pendidikan rakyat hendaknya lebih suka menggunakan nama 'gunakarya'. Dalam istilah ini tidak ada janji 'seni' maupun 'seniman'. Yang diutamakan ialah murid yang dapat menghasilkan kerjaan bagus lalu menjadi penafkah, pekarya, juru, tukang, pengusaha, yasawan, gunaman atau gunawan.

Makna 'guna'

GUNA itu berarti keba(j)ikan; sifat yang baik; tabiat; budi pekerti; kecakapan, kepandaian, keahlian, kejujuran, kemahiran; keunggulan; kesalehan; guna, faedah, jasa, amal; kekuasaan; ... Demikianlah menurut kamus bahasa (Mardiwarsito) yang lebih lengkap mengartikannya. 


Pendidikan Gunakarya

Pendidikan gunakarya bertujuan
membina murid (SD, SMP, SMA) agar tidak canggung
menghadapi dunia kerja demi nafkah dan kepastian
hidup

Jalannya bermacam2:
  1. Secara sukarela membuka Jurusan Gunakarya  di serum, terutama SMA dan SMP. Untuk SMA yang lebih lengkap, ini menjadi jurusan ke-4 (selain IPA,IPS, dan Bahasa). Ini jangan diseragamkan untuk seluruh Indonesia. Tiap sekolah (yang mau membukanya) menyusun rencana sendiri. Beda gunakarya di SMP dan di SMA dapat diatur, agar lulusan SMP dapat lebih pandai daripada SMA. Tetapi ini urusan belakang.
  2. Membuka Lembaga Pendidikan Gunakarya yang mandiri, dan bukan bagian setum. Lembaga ini dapat menghimpun lembaga2 kursus, latihan, binakarya, industri, bengkel dll yang bersedia berhimpun.
  3. Menggalang Kerjasama dengan kursus, perusahaan, pabrik, bengkel, balai latihan dll setempat
  4. Menjalin kerjasama dengan sekolah2 kejujuran.
  5. Mengangkat sebagai pendidik/pelatih: tiap orang yang ketahuan cakap, ahli, ataupun berpengalaman. Ada tidaknya ijazah pada mereka tidak dipersoalkan. Butahuruf bukan menjadi halangan. Tenaga IKIP / FKIP membantu untuk menatar dan mendampingi mereka, sambil belajar juga dari mereka. "Mereka" itu misalnya:
  • lulusan lembaga khusus atau sekolah kejuruan 
  • pelatih dalam balai latihan
  • ortu murid dan pensiunan
  • ahli, juru, tukang, empu, kitu, utas, pandai, kriawan, seniman.  

Pengalaman Gunakarya

Gunakarya = nafkah, mata pencarian, upajiwa, levensonderhoud
income, nafkah, makaya, nguyang, balangsiar, itikurih

Pengalaman bernafkah menjadi bagian dari pendidikan. Ini dapat digarap dengan beberapa karya:
  • membuka usaha (warung/bengkel dll.) di dalam atau di luar sekolah/ lembaga.
  • menyelenggarakan pasar berkala (pasar kaget, bazaar)
  • menugasi murid turut membangun sekolah, merawat sekolah (halaman dll) , memugar sekolah, membuat prabot sekolah, mencat dan melabur sekolah, membantu tata-usaha sekolah, membantu mengajar ataupun melatih dll. Dibayar atau tidak, terserah, tetapi inilah kerja nyata merupakan pengalaman berharga.
Sekaligus semua ini merupakan pengalaman berunding, tata-laksana, surat menyurat, mengatur keuangan, membagi kerja, membuat gambar rencana, membuat perwira (poster, spandoek), menggunakan aneka alat (gergaji dll) tawar menawar, berdagang, berhubungan dengan pihak luar, dsb.

Lembaga Pendidikan Gunakarya (LPG)

LPG ini tempat belajar atau pengatur belajar gunakarya.
  1. LPG menyediakan pendidikan pendek (didek) maupun pendidikan panjang (dijang). Tiap bidang didik atau pokok didik merupakan pendidikan bulat yang membekali murid dengan kepandaian berguna sesuai dengan kebutuhan. Bergantung pada bidang didiknya, murid dapat tamat dalam tiga bulan atau kelipatannya, atau mungkin dalam satu dua bulan saja.
  2. LPG tidak berjenjang: tak ada kelas satu, kelas dua, kelas tiga dst. Dengan demikian tidak ada istilah 'naik kelas' dan 'tamat sekolah'. Yang ada hanya istilah "belajar kepandaian"dan "tamat pelajaran". Karena dalam beberapa bulan saja murid sudah bisa tamat, istilah putus sekolah, gagal sekolah, drop out dsb pun tidak ada. Artinya, tiap murid mesti berhasil.
  3. Tiap triwulan bisa terdaftar murid2 baru. Kalau LPG ini laku, lebon-weton (input, output, turnover) murid setahun bisa lebih besar dari yang di sekolah. Tamatnya diharap tidak cuma meng-gedor2 universitas dan menganggur berkepanjangan. Setidaknya dia lebih bersemangat mencari kerja, mampu mencipta kerja maupun membuka kesempatan kerja.
  4. Murid LPG bisa mendaftar kapan saja dengan bidang ajar apa saja sesukanya. Dia berhenti belajar setelah tamat bidang pandai apa saja, dan setelah merampungkan bidang pandai berapa saja. 
  5. LPG bisa menerima siapa saja sebagai murid. Mungkin yang perlu didahulukan ialah
  • lulusan maupun pedotan SMP dan SMA
  • orang dewasa, yang dengan hasil didiknya bisa langsung membuka kesempatan kerja bagi banyak orang
  • orang dewasa, yang bisa menularkan hasil didiknya pada anak2nya sendiri dan warga selingkung
  1.  Perlu diuasahakan agar LPG memiliki gengsi baik, memikat masyarakat, bahkan menjadi impian ortu dan anak2nya.

Jurusan Gunakarya (JG)

  1.  Pengadaan JG  di setum sebaiknya langsung dimanfaatkan untuk mencoba aneka caradidik yang lain dari biasanya 
  2. Setelah satu tahun di setum, semua murid JG sudah harus menguasai kepandaian yang bernilai gunakarya, dan sudah mulai menjajal nilai ekonominya. 
  3. Murid yang sudah berhasil menguasai suatu kepandaian memperoleh 'Surat Padai' atau surat lulus yang indah dan membanggakan. Pada tamat sekolah ia sudah mengumpulkan sejumlah Surat Pandai. Kalau dia pedot sekolah, setidaknya dia sudah memiliki beberapa Surat Pandai. 'Kerja Bakti' untuk sekolah (mencat dan melabur bangunan, menata halaman dll) juga dihargai dengan Surat Pandai.
  4.  Sebagian besar dari kurikulum JG dibidikkan ke arah kebutuhan gunakarya.
  5. Matadidik di JG juga terbuka bagi murid2 IPA, IPS dan Bahasa. Dengan demikian gengsi JG naik.
  6. Tiap tahun JG mengadakan pameran, pasar, unjuk kabisa dll. di sekolah.
 

Aneka Bidang Didik 

    Berikut ini beberapa contoh dari ratusan atau ribuan bidang didik.
    • Kepandaian melukis tamasya
    Lukisan tamasya dimanati banyak orang sebagai hiasan rumah. Satu Surat Pandai (A) dapat diperoleh dalam enam bulan. Yang ingin memperdalam lukisan tamasya dapat belajar terus untuk menambah jumlah Surat Pandai (B) di bidang ini
    • Kepandaian menggambar wajah
    Gambar atau lukisan macam ini disukai banyak orang, jadi mempunyai pasaran baik.  Murid harus mampu menggambar wajah dalam tempo 30 menit. Alat2 yang dipakai paling sedikit potelot dan kapur warna (krayon). Beberapa Surat Pandai dapat dipakai untuk ini.
    • Kepandaian mengetik ataupun berswatur [2]
    Diajarkan di rumah pengajar atau di sekolah, oleh sejumlah ortu, guru, juru tik dll yang cakap menggunakan mesin tik ataupun swatur. Dengan alat2 ini murid belajar dengan menulis karangan, tugas sekolah, surat2 usaha dll.
    • Kepandaian menyiapkan santapan
    • Kepandaian mencipta gambar sablon
    • Kepandaian membuat papan nama
    • Makalah ini ditulis atas permintaan Prof. Dr. Jakub Isman untuk penataran dosen-dosen IKIP/FKIP dari Medan, Padang, Jakarta, Semarang , Yogyakarta, Surabaya, Malang, Ujunglandang, dan Manado pada tanggal 12 Oktober 2983 di Wisma Harapan, Jalan Gatot Subroto 45B, Bandung
    • Dimuat di MITRA DESA Desember 1992
    • Disajikan dalam pertemuan 'Kreativitas' di DTC-ITB (19 Desember 1992)
    • Dijadikan bahan kuliah tingkat S-2 FSRD, 1994
    Bandung, 19 Desember 1992

    [1] Sebagai kata benda, drop out, sebagai kata kerja , (to) drop out
    [2] Swatur = Swa + atur (computer) Dari sini dapat dibentuk kata2 berswatur, peswatur, peswaturan, memperswatur dll.

    10/16/2016

    Welcoming Yongsung-Paik

    I don't know why we made another blog ,but the Meureun(ung) still part of ilubiung's project, so I guess I'll write the story here.



    3/24/2016

    Did You Know

    While we're at Jabbar's Studio we found a Sundanese dictionary on the bookshelf.
    At first we were opening the book randomly and found some words which are interesting and fun to know the meaning. Then Uthi asked, "Tik, search for Ilubiung, Tik!"

    Then we found it. Under the word biung there's the word ilubiung
     
    ilubiung : pipiluen kana urusan batur
    ilubiung: pipilueun kana urusan batur 
    or maybe someone who like to stick their nose in something.

    not really good, huh. Well, let's just say 'participate' instead hehehe :p

    3/22/2016

    Weekly Discussion

    Hiya!
    since our member not really good to talk in front of public (not proud, ok?), we tried to held weekly class for anybody to present their works in narrative way. 


    3/19/2016

    Studio Visit: When An Angel Making Art

    March 12th 2016
    Beforehand, I'm quite shocked that we already reached at the middle of the month. Time does fly, huh, and those deadline(s) which always keep us alive... ugh


    Forget the deadline, let's talk about a small trip we had days ago from Pojok to Jabbar Muhammad's studio at Ujung Berung.

    3/12/2016

    Brace Yourself



    Whats up guys! It's been a while, no?
    How long since the last update? Three months? Well, anyway we're really sorry that we haven't posted another update after the new year. Yeah, we're just a bunch of people who are 'busy' with their works and tasks and everything, so..